Selasa, 22 Februari 2011

sumpit bambu

mmhh. menurut Anda , bagai mana sebaiknya cerita ini dimulai? bagaimana dengan ‘pada suatu hari..’ seperti di dongeng-dongeng? ngak! itu terlalu klise. kalau kita mulai dari duduk permasalahannya langsung gimana? hah? sejak kapan masalah bisa duduk? ngak ngak! terus gimana dong? udah, cepet, mau cerita gak sih? sebenarnya ada apa sih dengan sumpit bambu? kenapa benda itu bisa ada di posisi judul? ceritanya tentang mie ayam ya? bukan bukan, jadi begini ceritanya..


hari ini hari libur. di mana tanggal yang menunjukkan hari itu dicetak dengan tinta merah pada tiap-tiap kalender. hari di mana dalam kamus pedoman Nata berarti hari di mana para pelajar tidak pergi sekolah tatapi harus pergi ke tempat-tempat tertentu bersama beberapa pelajar lainnya untuk menunaikan suatu kewajiban bernama tugas kelompok. tugas kelompok sendiri berarti suatu perintah yang menuntut orang-orang untuk berkumpul, melakukan konferensi mengenai suatu tindakan. sementara konferensi berarti keadaan di mana semua orang bicara, tidak seorangpun mendengar, dan sesudahnya setiap orang bilang tidak setuju. dan suatu tindakan yang dimaksud adalah suatu kegiatan yang menyebabkan tumpahnya emosi setiap orang yang terpakasa ikut serta menanganinya dan disudahi dengan teriakan "gabut loe!!!" dari seseorang yang merasa dialah yang menyelesaikan tindakan itu. kalau terus dicari, gabut adalah suatu tindakan di mana seseorang tidak melakukan apa-apa tapi  mendapat angka di buku raportnya. dan... raport adalah... eth!!! mana unsur sumpit bambunya?? oke, balik lagi ke cerita.

hari ini hari libur [kan tadi udah!!! berisik!] dan Nata mulai merasa bahwa tanggal 14 enam bulan lalu adalah tragedi, dan tiga hari lagi adalah bencana. ada apa gerangan? semua jawabannya ada di hatinya yang paling dalam. sebuah perasaan yang akan meledak tumpah ruah menjadi tangisan jika saja diucapkan (meskipun dia tetap nangis walaupun gak dia ucapkan).

hari ini, dengan gilee ajee looo kalo gue ikut mereka. bisa bisa meledak ni otak gue.. hellooo sebagai keyakinan yang menggaung dalam hati, Nata berhasil membuat alasan untuk tidak campur tangan dalam tugas kelompoknya hari ini. dan sekarang, ia sedang berpikir keras bagaimana dengan keyakinan yang sama (karena ia males membuat keyakinan baru) ia bisa berhasil kabur dari bencana yang akan terjadi tiga hari lagi karena dia tahu, dalam dua hari, dia tidak akan sanggup menemukan mesin waktu yang bisa membawanya ke tanggal 14 enam bulan lalu untuk mencegah tragedi itu terjadi.

selagi ia terus memikirkan cara agar tujuannya itu tercapai, air mata sibuk bercucuran dari matanya yang sipit dan berpupil hitam legam. di saat seperti itu ia benar-benar merasa Mala dan Vicka - yang sibuk berpelukan dan menangis di tenda PMR sementara ia dan yang lainnya sibuk dibentak senior - tidak jauh lebih cengeng darinya. tapi kan, kata Windhy Puspitadewi di novelnya, Let Go, "Ketika wanita menangis, itu bukan berarti dia sedang mengeluarkan senjata terampuhnya, melainkan justru berarti dia sedang mengeluarkan senjata terakhirnya" sebelah batin Nata membela.

Nata tidak sanggup membayangkan dua pasang sumpit bambu - yang menurutnya murahan - akan terpasang di kepalanya. hadir berjubalan di antara rambutnya yang sampai sekarang tidak ia mengerti apakah tergolong lurus atau bergelombang. yang pasti bukan keribo. gue tau! jerit hatinya. yap. sebenarnya itulah masalahnya. apa? tiga hari lagi, ada pelantikan!!! hah? PELANTIKAN!!! cuma itu? hahduh!

dan.. bersambung. :)
kok bersambung? lanjutin aja!!!
ih, dibilang bersambung!!!

di antara dua

obsesi. oke. tentang apa obsesi yang akan dibahas kali ini?
pernah dengar obsesi menyukai seseorang? biasanya, orang-orang terobsesi karena menyukai. tapi yang ini beda. setiap hari, setiap saat, selalu berusaha memikirkan orang yang ia obsesikan untuk disukainya *ngerti ga? kalau gak ngerti, jangan salahin diri sendiri karena itu salah saya. orang yang seperti itu, berarti orang yang di antara dua. satu, dia orang sok mau. orang yang kehilangan dirinya dari lingkungan sekitarnya. dan kemungkinan yang kedua, dia adalah orang yang telah menekan rasa-rasanya, tapi masih berharap orang-orang mengetahui (pe)rasa(an)nya. rasanya pilihan kedua lebih tepat.